Sejarah Kerajaan Pajang
Fasha El Sauzsa (12)
Hably Darajatal ‘Ulya (13)
Iqbal Abdul Ra’uf (17)
Rachma Khairunnisa’ (27)
X MIA 3 | MAN 2 Kudus
SEJARAH KERAJAAN PAJANG
Setelah Sultan Trenggono meninggal, Demak dilanda perang saudara antara
Pangeran Prawoto (anak Trenggono) dengan Pangeran Sekar Sedo Lepen (adik
Trenggono) dan dimenangkan Prawoto. Aryo Penangsang, anak Pangeran Sedo Lepen
tidak dapat menerima kematian ayahnya. Kemudian Aryo Penangsang membunuh
Pangeran Prawoto dan keluarganya. Pangeran Prawoto mempunyai putra bernama Arya
Pangiri. Dengan bantuan Joko Tingkir (adik ipar Trenggono), Arya Pangiri
membalas kematian ayahnya
Dalam pertempuran itu sendiri dimenangkan oleh Joko
Tingkir, kemanangan ini juga atas bantuan dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng
Penjawi.Yang
kemenangan ini membuat Joko Tingkir memimpin Demak dengan gelar Sultan
Hadiwijaya, gelar tersebut diperoleh dari Sunan Giri dan mendapat pengakuan
dari kerajaan-kerajaan yang menjadi bawahan Demak.
1.
Kehidupan Politik
Sultan Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat kerajaan
dari Demak menuju Pajang pada 1552, yang terletak di daerah Kartasura, dekat
Surakarta (Solo), Jawa Tengah.Dengan demikian resmilah sudah Kerajaan Pajang .
Atas jasa-jasa Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Penjawi, keduanya pun diberi
hadiah yang berupa tanah diwilayah Mataran untuk Ki Ageng Pemanahan dan tanah
di daerah Pati untuk Ki Ageng Penjawi dan beliau pun berdua diangkat menjadi
adipati diwilayah tersebut.
Kepimpinan Sultan Hadiwijaya berlangsung dengan baik,
hubungan dengan kerajaan bawahan juga baik. Kesenian dan sastra mengalami
perkembangan yang sangat pesat dan pengaruh budaya Islampun semakin menyebar
hingga ke plosok daerah.
Akan tetapi semuanya berlangsung dengan cepat, dengan
sepeninggal Ki Ageng Pemanahan pada 1575 maka pemerintahan di Mataram,
diteruskan ke putranya yang bernama Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar. Yang
dalam kepimpinan Sutawijaya, Mataram berkembang dengan sangat pesat. Hal ini
yang kemudian membuat Sutawijaya enggan untuk menghadap ke Pajang.
Pada tahun 1582 meletus perang pajang dan Mataram
karena Sutawijaya membela adik iparnya yaitu Tumegung Mayang yang telah dihukum
buang ke daerah Semarang oleh Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan oleh pihak
Mataram meskipun pasukan Pajang jumlahnya yang lebih besar.
Sepulang dari perang, Hadiwijaya pun jatuh sakit
kemudian meninggal dunia. Maka terjadilah persaingan antara putra dan
menantunya yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja yang
selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus yang berhasil naik takhta
tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukan dengan usaha
balasa dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan, hal itu
membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Yang
pada tahun 1586 pangeran Benawa bersukut dengan Sutawijaya menyerbu Pajang.
Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Hadiwijaya namun Pangeran Benawa
tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang
berakhir dengan kekalahan arya Pangiri, ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu
Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Pemerintahan
Pangeran Benawa berakhir tahun 1587, tidak ada putra mahkota yang
menggantikannya yang sehingga Pajang pun dijadikan sebagai bawahan Mataram yang
menjadi bupati disana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya
sendiri mendirikan Kerajaan Mataram, yang dimana ia sebagai raja pertama yang
bergelar Panembahan Senopati.
2. Kehidupan Ekonomi
Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.
Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.
Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.
Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.
Di zaman
Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya
melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara
maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu
Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk
negara ideal
agraris maritim.
3.
Kehidupan Sosial
Tradisi Hindu masih besar pengaruhnya di Pajang,
karena di daerah agraris pedalaman, tradisi Hindu masih sangat kuat dipegang
dan pengaruh Islam hanya terbatas pada kalangan tertentu. Sehingga muncul
akulturasi budaya antara Hindu dan Islam yang menjadikan kehidupan rakyat
Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat
Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.
4. Peninggalan Sejarah
a) Masjid Lawean
Masjid Laweyan terletak di Kampung Batik Laweyan Solo, tepatnya di Dusun
Pajang RT 4 RW 4, Laweyan, Solo. Bangunan utamanya seluas 162 meter persegi.
Masjid Laweyan dibangun sekitar tahun 1546 M.
Merupakan masjid yg didirikan pada masa
Pemerintahan Jaka Tingkir di Kerajaan Pajang. Arsitektur masjid ini sangat
kental akan unsur tradisional Jawa, Eropa (Indisch), Cina, dan Islam.
Di dekatnya terdapat makam raja-raja dan
kerabat Kasunanan, antara lain makam Ki Ageng Henis, Ki Ageng Henis ini sebagai
penasihat spiritual Kerajaan Pajang. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit
dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas Pandawa lalu
Ki Ageng Selo.
Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat
ini menjadi raja-raja di kraton Kasunanan dan Mataram. Ruang Masjid dibagi
menjadi tiga, yakni Ruang Induk (Utama) dan Serambi yang dibagi menjadi Serambi
Kanan dan Serambi Kiri.
Pengaruh Kerajaan Surakarta terlihat dari
berubahnya bentuk masjid menyerupai bangunan Jawa yang terdiri atas pendopo
atau bangunan utama dan serambi. Ada dua serambi, yakni kanan dan kiri.
b) Makam Para Bangsawan
Di kompleks masjid, terdapat pemakaman untuk para bangsawan Keraton Solo.
Di makam ini terdapat tumbuhan langka Pohon Nagasari yang berusia lebih dari
500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga.
Selain itu pada gerbang makam terdapat
simbolisme perlindungan dari Betari Durga. Makam direnovasi oleh Paku Buwono X
bersamaan dengan renovasi Keraton Kasunanan. Beberapa orang yang dimakamkan di
tempat itu diantaranya adalah :
- Kyai Ageng Henis
- Susuhunan Paku Buwono II yang memindahkan Keraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Keraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Keraton Kasunanan Surakarta dari serangan musuh.
- Permaisuri Paku Buwono V
- Pangeran Widjil I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II-Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya Keraton dari Kartasura ke Surakarta.
- Nyai Ageng Pati
- Nyai Pandanaran
- Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX
- Dalang Keraton Kasunanan Surakarta
- Kyai Ageng Proboyekso
c) Bandar Kabanaran
Semenjak tahun 1546 Kyai Ageng Henis bermukim di Laweyan dengan mengemban
misi dakwah Islam. Beliau juga menyajikan teknik pembuatan batik kepada
penduduk setempat. Sejak itu dunia perdagangan dan perindustrian semakin ramai.
Untuk mendukung arus lalu lintas
perdagangan yang semakin padat, dibangun pelabuhan atau bandar di selatan
Kampung Laweyan, di tepi Sungai Kabangan dan ditimur Masjid Laweyan. Pelabuhan
itu dikenal dengan nama Bandar Kabanaran, yang menghubungkan Kerajaan Pajang,
Kampung Laweyan dan Bandar Besar Nusupan di tepi Sungai Bengawan Solo.
d)
Pasar Laweyan
Pasar Laweyan berada di timur kampung Setono, di selatan Kampung Lor Pasar,
di utara Kampung Kidul Pasar. Pasar Laweyan merupakan pusat transaksi
perdagangan bahan pakaian dan kain tenun. Dan semenjak penduduk Laweyan
memproduksi batik di sekitar tahun 1546 M.
Kampung Laweyan sangat terkenal dengan
peninggalan Kerajaan Pajang. Keberadaan tradisi membatik di daerah Laweyan
merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Kerajaan Pajang. Pada masa awal
berdirinya Kerajaan Pajang, teknik batik ini dikenalkan oleh Ki Ageng Henis
yang merupakan seorang penasihat spiritual di Kerajaan Pajang.
5.
Faktor Kemajuan
Beberapa faktor penyebab kemajuaan
kerajaan ini adalah:
·
Sultan Adiwijaya memperluas kekuasaannya di Jawa
pedalaman,
·
Ditundukkannya Kediri pada tahun 1577,
·
Bidang kesusastraan dan kesenian yang sudah maju di
Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa
·
Sistem pemerintahannya sudah diatur
dengan jelas, dengan raja sebagai pemimpim kerajaan
·
Persenjataan dan alat perlengkapan perang sudah baik
·
Dipimpin para pemimpin yang hebat dan bijaksana
6.
Faktor kemunduran
Beberapa faktor penyebab kemunduran
kerajaan ini adalah :
·
Perluasan wilayah tidak dapat dijalankan secara
maksimal,
·
Kesultanan Pajang kalah pamor terhadap Mataram.
·
Pangeran Benowo merasa kurang mampu melanjutkan
pemerintahannya dan menyerahkan kerajaan pajang kepada Sutawijaya . Sutawijaya
pun memindahkan pajang ke Kotagede( mataram)
0 komentar:
Posting Komentar